Kantor tanpa politik itu seperti makanan tanpa rasa pedas. Meskipun saya pribadi tidak menyukai politik kantor, tapi secara kepatutan sepertinya dibutuhkan.
Ceritanya begini,
Ada teman yang lagi "marah" mengenai kondisi kantornya yang semakin sini semakin parah. Ada politik kantor katanya. Bos yang biasanya adem ayem, tiba-tiba bisa memberikan penilaian atau judgement yang tidak didasari oleh faktatapi berdasarkan "omongan" orang yang dipercaya oleh sang bos.
Beliau meminta nasihat, "Gimana ya, untuk keluar saat ini sepertinya tidak mungkin, tapi saya sudah sangat tidak nyaman. Dan koko tau, sekarang yang berada di atas itu bukan orang2 yang kompeten tapi sodara-sodara si bos yang dipercaya langsung pegang dept head"
Pertanyaan yang sulit, karena faktanya saya tidak benar-benar memahami ketidak nyamanan dia, dan juga tidak memahami kultur dan kondisi perusahaannya. Mungkin sedikit paham tapi dengan kondisi yang berbeda.
Saya pernah mengalami kesulitan untuk berkembang karena pola kerja atasan yang kompetensi-nya tidak berkembang selaras dengan kompetensi teamnya. Yang akhirnya penilaian berujung pada penilaian yang sangat-sangat subjektif.
Jadinya penilaian lebih mengarah kepada perilaku dibandingkan hasil kerja. Dan ketika menilai "perilaku" berarti ada judgment-judgment yang diperoleh dari omongan orang lain. Misal : "iya dulu dia kalo diskusi sama saya selalu gak mau kalah".
Padahal kalau boleh jujur, perilaku frontal saya dulu diakibatkan karena perasaan frustasi saya yang merasa tidak berkembang tapi gak bisa kemana-mana. Cuman mungkin karena usia yang masih terbilang muda dan masih memiliki idealisme yang "brutal", penyaluran rasa tidak nyamannya menjadi "chaos" lokal di kantor. Tapi lesson learned ketika mulai merasa jadi leader, bahwa ada beberapa hal saya salah ketika itu.
Jadi gini menurut saya,
Kita harus cukup paham, untuk beberapa perusahaan yang berkategori "perusahaan keluarga" sangat dimungkinkan untuk yang berada di top level management merupakan keluarganya sendiri ataupun pro-hire yang tidak memiliki kompetensi yang baik. Karena biasanya lebih mengutamakan "trust" dibandingkan "kompetensi". Kepercayaan sulit di dapat, keahlian bisa diajarkan. Tapi tanpa disadari budaya perusahaan atau nilai-nilai perusahaan yang seperti itu akan berpotensi pada munculnya konflik bernuansa politik ketika perusahaan menjadi besar. Dan apalagi dengan embel-embel "keluarga", "keluarga dekat", "kenalan si bos" menjadikan mereka menjadi super power di perusahaan yang kadang kita menjadi menunduk ketika akan berkonflik. Jadinya pekerja lebih banyak ngedumel ria dibelakang mencari teman-teman yang sepenanggungan. Serta banyak pekerja yang cari aman, dengan "melaporkan kegagalan orang lain" daripada"ditagih kerjaan atau dipersalahkan". Lumrah sih. Dan yang perlu di garis bawahi adalah menyaring informasi, mana yang perlu didengar dan yang tidak, merupakan salah satu kompetensi leader yang harus super duper baik. Kalau tidak, bisa-bisa bos juga dijadikan alat politik/konflik oleh teamnya.
Kalaupun ada politik di kantor, saya membaginya menjadi 2 : politik kantor yang baik (hijau), dan politik kantor yang tidak baik (merah). Untuk mencapai target perusahaan & mengembangkan perusahaan pasti dibutuhkan politik hijau. Seperti main catur, mengatur semua infrastuktur organisasi agar optimal dalam pencapaian target (termasuk salah satunya adalah SDM). Dengan politik hijau, everyone will be happy (at least 98% lah), karena ada hasil yang akan dinikmati oleh mayoritas pekerja (yang 98% tadi). Terbalik dengan politik merah, hanya mengkhususkan target pribadi (atau segelintir orang) bukan target perusahaan, sehingga hasil akan dinikmati oleh orang-orang itu saja.
Menjadi frontal seperti yang saya lakukan saat itu, saya sadari sekarang, itu juga merupakan salah satu "politik merah" yang saya lakukan sebagai bentuk protes kepada atasan. Namun, menurut saya perilaku yang saya tunjukan masih "politik merah" 1 lawan 1. Sehingga saya masih mau berkonflik ria face to face tanpa mengkhawatirkan persona saya dikemudian hari atau penilaian prestasi saya dikemudian hari (yang kemudian saya memutuskan untuk mengundurkan diri saat itu).
Kembali ke pertanyaan teman saya tadi, saya cuman bisa bilang (kasarnya) itu balik lagi ke budaya perusahaan (penyebab), bukan mengenai politik kantor (akibat). Dan sebenarnya dari dulu juga gitu, cuman kamu mungkin baru kerasa tidak enak sekarang karena tuntutan kerja udah jauh lebih berat, adanya tumpang tindih tanggung jawab pekerjaan sehingga gesekan kepentingan semakin kencang. Dulu tenaga kerja ada 200 sekarang tinggal 100, ya sudah pasti lah konflik makin naik. Terus, jangan berprasangka buruk dulu dengan sang bos, karena mungkin juga pekerjaan lagi banyak, yang curhat banyak, terus kran untuk memilah informasi rusak. Jadinya tembak sana sini biar cepat beres.
Menurut saya, adanya budaya perusahaan main tegur tanpa alasan dan bukti merupakan bagian dari konflik kepentingan yang perlu dibenahi, dan bisa. Salah satunya adalah ketidak puasan SDM terhadap tidak baiknya (atau tidak jelasnya) infrastuktur peraturan perusahaan, dalam hal ini keadilan dan kesamarataan perlakuan perusahaan terhadap SDM. Akibatnya terjadi kecemburuan yang menyebabkan "saling mengadu tanpa dasar" atau yang itu tadi "daripada ditagih kerjaan mending bicarain buruknya orang lain".
Gak tau related atau tidak, itu sebabnya dari dulu saya selalu "tidak mau" menerima hal-hal yang sifatnya "khusus untuk saya", kalaupun dipaksakan harus, saya selalu meminta "tolong dibuatkan aturan perusahaannya dulu". Dan saya lebih menyukai teman-teman saya mengetahui fasilitas apa saja yang saya terima tanpa curiga (Kecuali fasilitas yang memang mengikat pada jabatan). Sehingga jika ada konflik dengan saya, bisa lebih fair, bukan karena saya menjadi orang yang special yang perlu di bombardir dengan "laporan-laporan" yang menyesatkan karena ada yang "cemburu".
Dan selama perusahaan membiarkan pengecualian-pengecualian yang seperti itu dan tidak dibereskan secara baik dan benar, konflik kantor akan selalu ada. Yang jika dibiarkan akan timbul politik kantor.
Akhinya saya bilang ke teman saya, tindakan yang baik adalah membela diri kalau benar, jika tidak didengar buktikan kalau kerja kita benar, dan jika masih tidak dianggap ya memang sudah harusnya move on mencari ladang yang lain.
Bukan mengenai masalah mental, tapi mengenai kita harus berbesar hati jika memang disatu titik kerjasama sudah tidak bisa dipertahankan dan kita sudah tidak bisa berkontribusi dengan baik (iklas, rela, tanpa beban dll). Hubungan baik tetap harus bisa dijaga, dan sebisa mungkin tinggalkan legacy yang baik diperusahaan meskipun kamu "merasa" diperlakukan tidak adil.
Susah ya ? Untuk menjadi nomor 1 dikantor yang memang susah. Dan harusnya seperti itu, karena makin keatas anginnya makin kencang. Kalau tidak diberikan kesulitan dan kesusahan seperti itu kita tidak mungkin bisa menjadi leader yang baik.
Seperti yang saya tuliskan untuk beliau, berbahagialah ketika kita diberikan kesulitan atau berada dilingkungan yang sulit, Tuhan mengijinkan kita untuk berkembang, dan memiliki karma yang baik (pernah dengar tidak, setiap ada orang yang memperlakukan kita tidak adil, itu akan mengurangi karma kita yang muncul akibat kita berbuat jahat sama orang ?). Dan juga jika diberikan kesempatan menjadi orang nomor 1 dikantor, kita akan dimampukan menjadi leader yang bekerja untuk kepentingan banyak orang, bukan untuk kepentingan sendiri.
Ya yang namanya juga hidup, perlu sakit untuk merasa sehat. Dan perlu diomongin orang supaya belajar untuk bisa mendengarkan diri sendiri lebih baik. Untuk belajar politik kantor yang hijau, memang harus melalui juga perjalanan politik kantor yang merah. Mau gimana lagi ? dikuatkan oleh Tuhan jika memang kita bermaksud baik, dan saya percaya itu. Jika harus bertahan , tetap untuk menjadi lebih baik, bukan sebaliknya dan menjadi sakit hati.
Comments